Makalah Kajian Etnolinguistik "Makna Leksikal dan Kultural pada Leksikon Tradisi Manten tebu Di Pabrik Gula Pangka Kabupaten Tegal "
Makna Leksikal dan Kultural pada Leksikon Tradisi Manten Tebu
Di Pabrik Gula Pangka Kabupaten Tegal
Oleh: Nur Intan Sari (2601413072)

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan beragam suku yang tersebar di berbagai pulau. Hal ini yang menyebabkan beragamnya kebudayaan. Dapat dilihat dari pulau Jawa yang memiliki beragam suku, salah satunya adalah suku Jawa. Suku Jawa ini mempunyai beragam kebudayaan tersebar di Provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur.
Tegal merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat Tegal merupakan asli suku Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari masyarakatnya yang menggunakan bahasa asli Tegal atau bahasa Jawa kuna asli. Tidak hanya dari penggunaan bahasa di masyarakat, namun kebudayaannya yang sama dengan kebudayaan di derah-daerah Jawa Tengah lainnya.
 Letak geografis Tegal berada di jalur pantai utara (pantura). Selain berdampingan dengan Pantai Utara, wilayah Tegal dekat dengan daerah dataran tinggi. Tegal di sebelah utara berdampingan dengan Pantai Utara, sedangkan di sebelah selatan berdampingan dengan Gunung Slamet. Keragaman geografis tersebut sangat berpengaruh pada kebudayaan masyarakatnya. Misalnya daerah Tegal yang berdampingan dengan Pantai Utara, tradisi yang terkenal adalah Sedekah Laut dan Ruwat Bumi. Berbeda dengan geografisnya, Tegal yang dekat dengan Gunung Slamet, mempunyai tradisi Manten Tebu, Sedekah Bumi dan Sedekah Wadhuk.
Pada penelitian ini, tradisi yang akan diteliti adalah tradisi Manten Tebu. Tradisi ini dikoordinasi oleh Karyawan Pabrik Gula Pangka (PG Pangka) yang dimeriahkan semua masyarakat Tegal dari berbgaia kalangan sosial, yaitu petani tebu, tokoh masyarakat, serta pejabat pemerintah.  PG Pangka ini berada di Kelurahan Pangka, Kecamatan Pangka, Kabupaten Tegal. Tradisi ini sebagai petanda bahwa tebu siap untuk digiling di Pabrik Gula pangka (PG Pangka). Tebu yang akan digiling ini berasal dari petani tebu di seluruh Tegal. Tradisi Manten Tebu ini sudah menjadi kegiatan yang rutin dilakukan pada bulan April-Mei.
Tradisi Manten Tebu ini merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah meberikan limpahan berupa hasil panen tebu yang berlimpah serta tradisi ini dilakukan sebagai bentuk harap kepada Tuhan agar dilancarakan pada proses penggilingan sehingga menghasilkan gula yang baik, memberikan kesejahteraan, dan tidak merugikan PG Pangka, petani dan masyarakat setempat.
Tujuan dan hasil dari tradisi Manten Tebu ini nyata dirasakan oleh karyawan dan masyarakat Pangka dan Tegal. Tujuan PG Pangka melakukan tradisi Manten Tebu sebagai bentuk keraifan lokal yang harus dilestarikan, karena tradisi ini sudah dilakukan oleh masyarakat saat Belanda berada di Tegal, serta bentuk mengeratkan seluruh komponen masyarakat Tegal. Hasil dari tradisi Manten Tebu ini dapat dilihat dari keuntungan masyarakat yang berjualan saat puncak acara Tradisi Manten Tebu ini.
Tujuan dan hasil dari tradisi Manten Tebu ini sangat berpengaruh bagi masyarakat, hal tersebut perlu adanya penelitian mengenai makna leksikal, makna kultural serta pola pikir masyarakat terhadap Tradisi Manten Tebu. Hal tersebut berfungsi sebagai penjagaan serta pelestarian kearifan lokal.
Penelitian ini, bertujuan untuk menjelaskan dan mendiskripsi makna leksikal dan gramatikal, makna kultural pada Tradisi Manten Tebu serta mengetahui pola pikir masyarakat terhadap Tradisi Manten Tebu di PG Pangka, Kabupaten Tegal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai penjagaan kearifan lokal dengan bentuk leksikal serta maknanya pada Tradisi Manten Tebu untuk masyarakat Tegal bahkan pada sivitas akademika. Selain manfaat yang bersifat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang bersifat praktis, yaitu sebagai informasi dan masukan empiris kepada masyarakat dan pemerintah yang memiliki tugas dan kewajiban dalam menjaga tradisi Manten Tebu sebagai tradisi yang memiliki manfaat dan berkah untuk masyarakat sekitar.

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Ari Agung Pramono dari judul skripsi “Makna Simbol Ritual Cembengan di Madukismo Kabupaten Bantul” (2009). Dari hasil penelitian ini adalah Ritual Cembengan merupakan salah satu ritual yang dilakukan oleh pabrik-pabrik gula yang akan  melaksanakan proses awal dari masuknya mesin giling.  Simbol-simbol dalam ritual Cembengan terdapat pesan atau wejangan yang ditujukan kepada kelancaran jalannya proses giling tebu, sehingga makna dari berbagai simbol yang digunakan merupakan manisfestasi dari rasa syukur yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Simbol-simbol tersebut memberikan pengaruh positif yang signifikan dalam kehidupan mereka, baik secara psikologis, sosial kemasyarakatan, maupun secara keagamaan, sehingga menjadikan mereka selalu berusaha melakukan yang terbaik dalam hidupnya, baik dalam lingkungannya secara horisontal dnegan manusia dan mahkluk lainnya.
Penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ari Agung Pramono sama-sama mengkaji makna serta penggunaan nama pada proses memanen tebu dan siap untuk digiling oleh Pabrik Gula. Penggunaan nama pada penelitian sebelumnya, menggunakan Cembengan dan pada penelitian ini menggunakan Manten Tebu.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ari Agung Pramono, jika penelitian sebelumnya hanya mengkaji makna simbol dari Ritual Cembengan, namun penelitian ini akan meneliti makna leksikal, makna kultural dan pola pikir masyarakat terhadap Tradisi Manten Tebu.
Pengertian Etnolingusitik menurut Kridalaksana (2010:59) adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan, atau cabang ilmu linguistik yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa.
Tradisi (Bahasa Latin: tradio, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam penegertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu atau agama yang sama (Koentjaraningrat 1987). Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradis dapat punah.
Dalam semantik pengertian sense ‘makna’ dibedakan dalam meaning ‘arti’, sense ‘makna’ adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri. Menurut Lyons (1977:2040 menyebutkan bahwa mengkaji dan memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut berbeda dari kata-kata lain, sedangkan meaning menyangkut makna kata leksikal dari kata-kata itu sendiri, yang cenderung terdapat dalam kamus sebagai leksikon (Djajasudarma, 1993:5). Makna erat kaitannya dengan semantik, oleh karena itu istilah yang ada pada tradisi Manten Tebu akan dilihat dari segi makna leksikal dan makna kultural.
Makna gramatikal (grammatical meaning, functional meaning, structural menaing, internal menaing) adalah hubungan antara untsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih besar misal hubungan antara kata dengan kata lain dalam fase atau klausa (Kridalaksana, 2001:132).
Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki masyarakat dalam hubungan antara budaya tertentu (Wakit, 1999:3). Memahami suatu buaya berarti menentukan dan menafsirkan sistem tanda budaya tersebut, tanda tisak mempunyai makna atau konsep tertentu akan tetapu simbol merupakan petenjuk yang semata-mata menghasilkan makna melalui interprestasi. Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungan dengan budaya tertentu (Wakit, 1993:3).
Makna kultural diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang mrujuk pada sesuatu. Simbol itu sendiri meliputi apa saja yang dapat kita rasakan atau kata alami. Simbol yang dimaksud dalam penelitian ini adalah istilah-istilah dalam tradisi Manten Tebu di Pabrik Pangka Tegal.
Dari uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa makna kultural adalah makna yang ada pada masyarakat yang berupa simbol-simbol dan dijadikan patokan-patokan dalam kehidupan sehari-hari dalam bersikap dan berperilaku. Makna kultural erat sekali hubungannya dengan kebudayaan, karena makna tersebut akan timbul sesuai dengan budaya masyarakat sekitar.
Bentuk (form) adalah penampakan atau rupa satuan; penampakan atau rupa satuan gramatikal atau leksikal dipandang secara fonis atau grafemis. Bentuk dibedakan menjadi lima yaitu bentuk asal, bentuk dasar, bentuk kata, bentuk bebas dan bentuk terikat. (Kridalaksana, 2001: 28-29). Bentuk asal atau underlying from adalah satuan dasar yang dianggap sebagai dasar untuk membentuk atau menurunkan seperangkat satuan atau seperangkat varian dari sebuah satuan. Bentuk dasar atau base form merupakan bentuk satuan morfem/morfem yang paling umum dan tidak terbatas. Bentuk kata atau word form merupakan ujud kata tertentu yang mengisi fungsi tertentu dalam paradigma. Bentuk bebas atau free form yaitu bentuk bahasa yang dapat berdiri sendiri dan bermakna jelas. Bentuk terikat atau bound form merupakan bentuk bahasa yang harus bergabung dengan unsur lain dengan makna jelas.
Dalam pembentukan istilah dalam bahasa dapat dilakukan dengan dua bentuk yaitu bentuk kata berupa bentuk dasar dan bentuk terikat yang secara morfologis digolongkan dalam bentuk monomorfemis dan polimorfemis.
Pada analisis bentuk leksikon dalam tradisi Manten Tebu, lebih menekankan pada yaitu bentuk Monomorfemis dan polimorfemis.
Monomorfrmis (imonomorphemic) terjadi dai satu morfem. Morfem merupakan suatu bahasa terkeceil yang maknanya secara relatif stabil dan yang tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil, misalnya (ter-), (di-) (Kridalaksana, 2001:148)
Menurut Samsuri (1987:190) proses morfologis adalah cara pembentukan kata-kata dengan menghubngkan morfem yang satu dengan morfem yang lain. Dengan kata lain gabungan morfem-morfem akan membentuk kata.
Semua kata yang tergolong pada kata dasar dalam istilah-istilah dalam tradisi Manten Tebu dapat dikatakan morfem bebas dengan penegrtian bahwa morfem itu dapat berdiri sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati imbuhan, dengan kata lain, kata dasar belum mengalami proses morfologis atau belum mendapatkan imbuhan apapun, belum diulang dan belum mengalami proses morfologis atau belum mendapatkan imbuhan apapun, belum diulang dan belum digabungkan atau dimajemukan.
Berbeda dengan Monomorfemis, Polimorfemis adalah terdiri atas lebih dari satu morfem (Verhaar, 2004: 97). Polimorfemis dibentuk melalui beberapa proses morfemis yaitu afiksasi (imbuhan), reduplikasi (pengulangan), dan pemajemukan/komposisi.
Afiksasi adalah proses perangkaian afiks pada bentuk dasar. (Wedhawati, 2006: 40). Afiks adalah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suku kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata yang baru. (Ramlan, 1987:55). Setiap afiks tentu berupa satuan terikat, artinya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri dan secara gramatik selalu melekat pada satuan lain. Afiks atau lebih dikenal dengan imbuhan ada empat macam. Pembedaan itu didasarkan pada.
Reduplikasi atau reduplication adalah proses dan hasil pengulanagan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal (Kridalaksana, 1983:186).
Kata majemuk adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantik yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan, pola khusus tersebut membedakannya dari gabungan morfem dasar yang bukan kata majemuk (Kridalaksana, 2001:99). Komposisi atau pemajemukan adalah proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar (pradasar) menjadi satu kata, namanya kata majemuk (Verhaar, 2004:154).
Frasa adalah satuan gabungan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umunya menjadi pembentuk klausa (Kentjono, 1982:57). Berebda dari pengertian frasa menurut kentjono, frasa seperti dengan kata, frasa dapat berdiri sendiri. Frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya maupun salah satu dari unsurnya disebut frase endosentric, dan frasa yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya disebut frase ekosentric (Ramlan, 2001:141).
METODE PNELITIAN
Sesuai dengan masalah dan fokus kajian, secara metodologis, penelitian ini memilih pendekata kuantitatif. Secara lebih spesifik, operasional pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan etnolingusitik. Sasaran penelitian ini adalah analisis makna leksikal, gramatikal, dan kultural pada leksikon-leksikon tradisi Manten Tebu serta mengetahui pola pikir masyarakat terhadap tradisi manten tebu. Lokasi penelitian ini adalah Pabrik Gula Pangka, Kabupaten Tegal.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara ini dilakukan pada karyawan PG Pangka serta masyarakat Tegal dan sekitar PG Pangka. Data yang berhasil dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan metode distribusional dan metode padan. Maksud dari metode distribusional adalah metode analisis data yang penentunya unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993:15). Metode ini digunakan untuk menganalisis bentuk istilah istilah Tradisi Manten Tebu Pangka Tegal yang berbentuk polimorfemis dan monomorfemis. Contoh : Methikan (m ə ʈ i k a n), Manten Tebu ( m a n t e n t e b u ). Berbeda dengan metode distribusional, metode padan adalah metode analisis data yang penentuannya di luar, terlepas,dan tidak menjadi bagian dari bahasa (language) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Metode padan ini digunakan untuk menganalisis makna istilah pada Tradisi Manten Tebu di Pangka Tegal. Adapun penerapan kedua metode tersebut, contohnya Methikan ( m ə ʈ i k a n) “acara yang dilakukan pada saat menjelang giling tebu untuk dijadikan gula”. Proses : V  + -an. Makna leksikal dari methikan yaitu ngundhuh wit yang dilakukan secara berulang-ulang. Makna kultural dari methikan yaitu melambangkan rasa syukur kepada tuhan atas panen tebu. Secara khusus, operasionalisasi deari penggunaan metode distribusional dan metode padan tersebut akan diimplementasikan melalui analisis kuantitatif metode diskriptif ini dengan merujuk model informal dan formal. Pengertian dari metode informal adalah penyajian hasil analisis data yan menggunakan kata-kata sederhan agar mudah dipahami. Metode analisi informal dalam penelitian ini agar mempermudah pemahaman setiap hasil penelitian. Berbeda dari metode infoormal, metode formal adalah metode penelitian data dengan menggunakan dokumen tentang data yang dipergunakan untuk memperkuat hasil penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tradisi merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan. Dalam kebudayaan masyarakat Jawa terdapat hubungan timbal balik antara manusia dan alam sekitarnya. Masyarakat Jawa, khususnya yang maasih tinggal di pedesaan, sebagian besar masih memegang teguh dan melaksanakan tradisi yang selalu dilakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka.
Tradisi bagi masyarakat Jawa mengandung nilai filasafat yang tinggi. Salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Pangka yaitu tradisi Manten Tebu. Secara gramatikal frasa Manten Tebu merupakan frase nomina. Kata benda manten yang bermakna ‘pengantin’ dan kata benda tebu yang bermakna ‘buah tebu’. Jadi, Manten Tebu artinya pengantin yang berbentuk tebu. Berbeda dengan gramatikal, makna kultural dari Manten Tebu ini adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pangka setelah melakukan proses methikan. Tradisi Manten Tebu ini dilakukan pada musim panen tebu tib, yaitu bulan April dan Mei.
Tradis Manten Tebu merupakan wujud teriakasih kepada Tuhan atas hasil panen tebu yang telah diberikan Tuhan. Tradisi ini juga sebagai bentuk memohon untuk dilancarkan dalam proses penggilingan tebu. Tradisi ini dilakukan oleh karyawan PG Pangka, khususnya Staf Tebang Angkut PG Pangka. Pada tradisi ini, bukan hanya karyawan yang melakukan prosesi tradisi Manten Tebu, namun seperti petani, tokoh masyarakat dan masyarakat Tegal serta Pangka ikut berpatisi dalam prosesi tradisi ini. Karyawan PG Pangka melakukan tradisi Manten Tebu terdiri dari lima tahapan, yaitu tahap lek-lekan, slametan, methikan,Manten Tebu, dan puncak acara ada di wayangan dan pasar malem.
1.    Makna Leksikal dan Gramatikal pada leksikon Tradisi Manten Tebu
1.    lek-lekan
( l e k- l e k a n) berkategori verba. Proses lek-lekan adalah Reduplikasi bersama dengan sufiks (-an). Makna dari lek  yaitu rembulan, tanggal enom, wektu lairing jabang bayi (Baoesastra Djawa:265). Makna dari lek-lekan yaitu pada melek ( nenggoni wong lara, lsp). (Baoesastra Djawa:265).
Makna leksikal lek-lekan pada tradisi Manten Tebu adalah menunggu tebu yang siap untuk digiling pada tradisi Manten Tebu. Lek-lekan tebu ini dilakukan pada malam hari di kebun tebu yang sudah dipilih dan besoknya siap untuk digiling. Lek-lekan tebu dilakukan bersama-sama dengan masyarakat sekitar sehingga menggunakan penerangan lampu pada kebun tebu tersebut.
2.    Slametan
( S l a m ә t a n ) berkategori nomina. Slametan dari kata dasar slamet yang berkategori adjektiva. Proses slametan adalah Adj + (-an) menunjukkan sifat dari kata dasar. Makna dari Slamet yaitu ora ana sakara-kara. Makna dari Slametan yaitu kenduren. Makna gramatikal slametan adalah bersifat selamat atau tidak terjadi apa-apa.
Makna leksikal slametan pada tradisi Manten Tebu adalah permohonan keselamatan agar dilancarkan dalam acara Manten Tebu.
3.    Methikan
Methikan (m ə ʈ i k a n) berkategori verba atau kata kerja. Proses methik terdiri dari methik berkategori verba ditambah dengan (-an).  V + (-an) yaitu methik + (-an).
Methik mempunyai arti ngunduh woh (Baoesastra Djawa: 314). Methikan ini mendapatkan penambahan (-an) yang mempunyai makna melakukan tindakan secara santai. Sehingga makna gramatikal methikan adalah memetik buah dengan santai.
Makna leksikal methikan adalah proses memanen tebu atau memetik tebu yang sudah siap untuk digiling. Methikan ini dilakukan secara bersama-sama oleh pemiliki kebun dan masyarakat sekitar.
4.    Manten Tebu
Manten Tebu (m a n t e n t e b u) berbentuk Frasa Nomina. Proses gramatikal manten tebu adalah  N + N = Frasa Nomina (FN). Manten adalah penganten (Baosastra Djawa: 291) Tebu adalah tetuwuhan wite dijupuk banyune digawe gula (Baosastra Djawa: 598).
Manten Tebu merupakan tebu berkelamin laki-laki dan perempuan dengan kualitas baik, sehingga akan digiling pada Tradisi Manten Tebu.
5.    Siwer
Siwer ( s i w ә r). Makna leksikal  dari Siwer  yaitu  ireng semu biru (Baoesastra Djawa:566). Berkategori adjektiva. Makna leksikal Siwer pada tradisi Manten Tebu merupakan acara pengiriman do’a kepada sesepuh yang pernah ikut andil dalam perkembangan pabrik gula.
Jadi makna siwer menurut Baoesastra Djawa dengan tradisi Manten Tebu berbeda. Pada kamus Baoesastra Djawa, kata siwer berkategori adjektiva, sedangkan siwer pada tradisi tersebut berkategori verba.
6.    Golek Manten
( g o l ɜ k   m a n t e n ) berbentuk frasa nomina. Proses gramatikal golek manten adalah N + N = FN. Makna dari Golek yaitu pepetaning wong sing digawe saka kayu. Makna dari  manten  yaitu penganten. Sehingga makna gramatikal adalah boneka buatan manusia yang terbuat dari kayu untuk dijadikan pengantin.
Makna leksikal Golek Manten pada tradisi Manten Tebu adalah boneka laki-laki dan perempuan yang dijadikan sebagai manten
7.    Arak-arakan
Arak-arakan ( a r a k- a r a k a n). Proses gramatikal dari arak-arakan adalah  Reduplikasi N + -an. Makna arak adalah mengantarkan bersama-sama oleh banyak orang. Arak-arakan mendapatkan proses reduplikadi dan (-an). Penambahan (-an) mempunyai makna bertindak dengan santai. Sehingga makna gramatikal adalah mengantarkan bersam-sama oleh orang banyak dengan santai.
Arak-arakan adalah Gegolonging wong kang bebarengan ngaterake (penganten). (baoesastra Djawa:18). Namun pada Kamus Lengkap Bahasa Jawa, makna arak-arakan adalah Arak-arakan  yaitu iring-iringan, pawai.
Makna leksikal arak-arakan pada tradisi amnten tebu adalah sekumpulan masyarakat  yang bersama-sama mengantarkan proses Manten Tebu sampai ke tempat penggilingan.
8.    Terbangan
Terbangan ( t ә r b a n g a n). Proses gramatikal terbangan  adalah N + -an = verba. Makna dari terbang adalah tetabuhan asem (baoesastra Djawa: 603). Penambahan (-an) mempunyai makna melakukan permainan. Sehingga makna gramatikal terbangan adalah permainan menabuh terbang.
Makna leksikal dari  terbangan pada tradisi Manten Tebu yaitu permainan menabuh terbang yang dilakukan secara bersama-sama untuk mengiring sebuah pawai atau arak-arakan.
9.    Temu penganten
Temu penganten ( t ә m u  p ә n g a n t e n ). Proses gramatikal temu pneganten adalah verba nomina. Temu berkategori verba sedngkan penganten berkategori nomina. Jadi proses gramatikal temu pneganten adalah frasa verba nomina.
Makna dari Temu  yaitu panggih atau bertemu (Baoesastra Djawa: 601). Makna dari manten  yaitu penganten.Sehingga makna gramatikal temu penganten adalah mempertemukan pengantin laki-laki dan perempuan.
Makna leksikal dari Temu manten pada tradisi Manten Tebu yaitu mempertemukan tebu laki-laki dan perempuan di pertengahan antara tebu laki-laki dan perempuan. Misalnya tebu laki-laki dari PG Pangka dan tebu perempuan dari Desa Suradadi, maka tempat pertemuan tersebut di Desa Tuban. Desa Tuban ini bertempat di tengah-tengah antara Suradadi dan Pangka.
10.    Tumpengan
Tumpengan ( T  u m p ә ɳ a n ).  Proses gramatikal tumpengan adalah N + -an. Makna  dari tumpeng  yaitu sega diwangun pasungan ( dianggo slametan) (Baoesastra Djawa: 614). Penambahan sufiks (-an) bermakna menggunakan, mengenakan, atau memakai. Sehingga makna gramatikal tumpengan adalah menggunakan tumpengan sebagai acara slametan.
Makna leksikal dari tumpengan  yaitu acara makan tumpeng bersama-sama dengan masyarakat dan karyawan PG Pangka. Tumpengan ini dilakukan di kebun tebu, area mesin penggilingan serta kantor tebang angku PG Pangka. Tumpengan ini dilakukan sebelum dan sesduah Manten Tebu dilaksanakan.
11.     Dikletheki
Dikletheki (  d i k l 3 ʈ 3 k i ). Proses gramatikal dikletheki adalah di + Verb + i. Makna dari klethek  yaitu melepaskan kulitnya. Penambahan di-/-i bermakna subjek dijadikan sasaran tindakan.
Sehingga makna gramatikal dikletheki adalah melakukan pelepasan kulitnya. Maksud hal ini adalah mengupas kulit tebu yang sudah dipilih untuk digiling.
Makna leksikal diklethek pada tradisi Manten Tebu yaitu kulit tebu dikupas oleh pemilik kebun tebu dengan masyarakat sekitar. Proses klethek tebu ini dilakukan H-1 sebelum tradisi Manten Tebu dilaksanakan.
12.     Gesek
Gesek:  (g e s e k). Kategori: Nomina. Gesek merupakan polimorfemis. Makna leksikal gesek  adalah iwak sing disigari diope serta diasini (Baoesastra Djawi: 137)
Makna leksikal gesek  pada tradisi Manten Tebu adalah ikan asin yang dijadikan lauk atau pelengkap pada tumpeng. Ikan asin biasanya di goreng dengan tepung terigu atau tidak.
13.    Tumpeng
Tumpeng ( t u m p ә ɳ ) berkategori: nomina. Tumpeng merupakan polimorfemis, karena tanpa imbuhan bisa berdiri dan mempunyai makna sendiri.Makna leksikal Tumpeng adalah sega diwangun kukusan utawa pasungan (dianggo slametan) (Baoesastra Djawi: 614).  Tumpeng adalah nasi yang dibentuk seperti kerucut (untuk selamatan dsb.) (KBBI, 2002: 1082).  
Makna leksikal tumpengan pada tradisi Manten Tebu adalah nasi kuning atau putih yang dikukus kemudian dinbentuk kerucut. Tumpeng tersebut dikelilingi urab, gesek, sambel goreng, kacang dawa, endhog, dan tahu tempe.
14.  Sambel goreng
Sambel goreng ( s a m b ә l  g o r e ɳ ). Proses gramatikal sambel goreng: N + N = FN (frasa nomina). Sambel goreng secara gramatikal terdiri dari unsur sambel `sambal` dan unsur goreng `goreng` merupakan lauk yang terbuat dari kentang yang dipotong kecil-kecil dan ditumis beserta bumbu.
Sambel goreng secara leksikal pada tradisi Manten Tebu adalah lauk atau pengiring pada nasi tumpeng yang berasal dari tempe yang dipotong dadu kecil dan ditumis dengan bumbu.
15.    Pipis
Pipis ( p i p i s ) berkategori nomina. Pipis merupakan polimorfemis. Makna leksikal  pipis adalah panganan diwungkus ing godong banjur digodog (Baoesastra Djawi: 493)
Makna leksikal pipis dalam tradisi Manten Tebu adalah makanan dengan bahan baku tepung beras dan dibungkus dengan daun pisang serta dikukus di dandang. Isi pipis adalah pisang yang dipotong miring.
16.    Urab
Urab ( u r a b ) berkategori nomina. Urab merupakan pokimorfemis, karena tanpa afiksasi urab mempunyai makna dan bisa berdiri sendri tanpa afiksasi. Makna urab adalah campur atau carub (Baoesastra Djawi: 445).
Makna leksikal urab adalah berbagai macam sayuran yang dicampur dengan kelapa parut yang sudah dibumbu sambal.
17.    Tahu Tempe goreng
Tahu tempe goreng  ( t a h u  t e m p ε  g o r ε ɳ ). Proses gramatikal tempe goreng adalah frasa nomina: N+N = FN.
Makna tahu adalah lelawuhan sing digawe dele putih digiling (Baoesastra Djawi: 585). Makna tempe adalah lawuh sing diagwe kedel lan diragi (Baoesastra Djawi: 596). Sehingga makna gramtikal tahu tempe goreng adalah lauk yang digoreng dengan bahan baku kedele
Makna leksikal tahu tempe goreng pada tradisi Manten Tebu adalah lauk dari kedele sebagai pengiring tumpeng.
2.    Makna Kultural pada Tradisis Manten Tebu
1.    Methikan
Makna kultural  dari methikan  pada tradisi Manten Tebu yaitu melambangkan rasa syukur kepada tuhan atas panen tebu. Methikan ini sebagai penanda untuk PG Pangka dan para petani tebu di seluruh Tegal bahwa sudah waktunya tebu-tebu tersebut dipanen. Hal tersebut diharapkan agar hasilnya melimpah.
2.    Manten Tebu
Makna kultural dari Manten Tebu  yaitu sebagai bentuk penghargaan atau penghormatan kepada petani dan karyawan yang telah merawat tebu selama satu tahun. Pada tradisi methikan ini, yang menjadi pengantin bukanlah tebunya, tetapi Manten Tebu ini adalah mempertemukan hasil panen tebu PG Pangka dengan tebu hasil petani di sekitar Tegal.
Manten Tebu ini merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah meberikan limpahan berupa hasil panen tebu yang berlimpah serta tradisi ini dilakukan sebagai bentuk harap kepada Tuhan agar dilancarakan pada proses penggilingan sehingga menghasilkan gula yang baik, memberikan kesejahteraan, dan tidak merugikan PG Pangka, petani dan masyarakat setempat.
3.    Siwer
Makna kultural dari  Siwer   yaitu memohon doa restu kepada sesepuh yang pernah turut andil dalam perkembangan PG Pangka akan pelaksanaan Manten Tebu. Dimaksudkan agar acara tradisi Manten Tebu berjalan lancar tidak ada satu halangan apapun.
4.    Slametan
Makna kultural dari slametan  yaitu melambangkan keberkahan serta mempererat persaudaraan untuk karyawan PG Pangka dan masyarakat. Acara Manten Tebu sebelum tabu petani dan tebu PG Pangka dipertemukan. Diibaratkan seperti pernikahan manusia, sebelum ataupun sesduah ijab qobul perlu adanya walimahan atau slametan. Hal tersebut juga dilakukan untuk Manten Tebu yang nantinya akan dinikahkan. Slametan bertempat di kebun tebu yang sudah dipilih, mesin penggiling di PG Pangka, serta ruangan tebang angkut di PG Pangka.  Masyarakat mempercayai bahwa slametan ini akan membawa keberkahan serta mempererat persaudaraan untuk karyawan PG Pangka dan masyarakat.
5.    Golek Manten
Makna kultural dari golek manten yaitu pernikahan dilakukan satu kali seumur hidup dan tidak untuk main-main. Golek manten dalam acara Manten Tebu merupakan boneka yang dinikahkan atau diijab qobulkan oleh Kepala PG Pangka. Tebu PG Pangka dengan tebu Petani disahkan digiling setelah proses ijab qobul dari Golek Manten. Penamaan golek manten ini berasal dari permintaan pemilik tebu yaitu PG Pangka dan Petani. Penamaan ini menggunakan nama kejawen, yaitu penggunaan Nyi untuk boneka pengantin perempuan dan Raden untuk boneka laki-laki.
6.    Arak-arakan
Makna kultural dari arak-arakan  yaitu melambangkan bahwa manusia hidup bukan hanya untuk diri sendiri tetapi untuk hidup bermasyarakat saling gotong royong dan bekerja sama. Araka-arakan disini semua masyarakat ikut andil khususnya warga pangka dalam prosesi tradisi Manten Tebu. Arak-arakan ini akan berawal dari tempat pertemuan tebu laki-laki dan perempuan sampai ke PG Pangka. Arak-arakan ini dilakukan oleh karyawan dan masyarakat Tegal dengan berjalan rombongan menuju PG Pangka.
7.    Terbangan
Makna kultural dari  terbangan  yaitu dengan adanya acara terbangan diharapkan akan lebih terjalin kerukunan antar masyarakat, karena terbangan tidak hanya dilakukan oleh satu dua orang saja melainkan masyarakat yang bisa menabuh terbang bisa ikut andil dalam kegiatan terbangan. Sehingga kerukunan, kerja sama antara masyarakat semakin rekat.
8.    Lek-lekan
Makna kultural dari lek-lekan  yaitu menjadikan manusia menghadapi kehidupan penuh dengan kekuatan. Hal tersebut nantinya dalam masyarakat Pangka maupun karyawan harus tetap kuat menjalani kehidupan ataupun dalam krisis ekonomi, misalnya dalam harga gula turun, masyarakat harus kuat untuk menghadapi masalah.
9.    Temu penganten
Makna kultural dari temu manten yaitu diharapkan dengan bertemunya Manten Tebu laki-laki dan perempuan ini dilahirkan atau dihasilkan gula yang bisa membawakan kebahagian serta kesejahteraan untuk masyarakay dan karyawan PG Pangka
10.    Tumpengan
Makna kultural dari tumpengan  yaitu perwujudan rasa kebersamaan dan kesiapan tenaga kerja untuk melaksanakan panen raya / penebangan tebu. Tumpengan disini berarti makan nasi tumpeng, yaitu sebelum dilaksanakan pengambilan tebu temanten dan tebu pendamping biasanya dilakukan doa bersama yang kemudian dilanjutkan dengan makan nasi tumpeng bersama, ini dilakukan di masing – masing kebun.
11.    Dikletheki
Makna kultural dari dikletheki  yaitu barang apapun yang akan digunakan untuk melakukan kegiatan harus dalam keadaan bersih. Seperti pada tebu yang akan digunakan harus bersih, seperti tebu harus diberrsihkan dari daun-daun yang kering.
12.    Gesek
Makna kultural dari  gesek  yaitu melambangkan hasil laut masyarakat Tegal yang bergeografi pesisiran, sehingga hasil laut bisa di manfaatkan untuk dijadikan gesek atau ikan asin. Hal tersebut dapat dilihat dari ikanm asin ini sangat diminati masyarakat Tegal sebagaik lauk pauk.
13.    Tumpeng
Makna kultural tumpeng yang berbentuk mengerucut ke atas semakin ke atas semakin lancip sebagai simbol keyakinan dan keteguhan iman kepada Allah. Dengan keyakinan maka hidup akan bisa berhasil dan sukses. Begitu pula dalamtradisi Manten Tebu denga keteguhan iman dan yakin maka tradisi Manten Tebu dan penggilingan tebu ini akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa halangan suatu apapun dan yang paling penting permohonan dapat dikabulkan Sang Maha Kuasa. Manurut Bapak Lilik tumpeng yang berbentuk kerucut tegak lurus tidak belok-belok seperti dalam hidup manusia aja mingar-minger `jangan terpengaruh`. Maksudnya menjalani hidup ini jika terkena godaan jangan terpengaruh harus sabar mengshadapi godaan itu.
14.    Sambel goreng
Makna kultural dari sambel goreng adalah melambangkan dalam berjuang butuh kesemangatan/keberanian dan persatuan. Kesemangatan digambarkan bumbu dengan cabe (merah), sedangkan persatuan digambarkan dengan bersatunya potongan-potongan kentang. Begitu pula pada tradisi Manten Tebu ini, diharapkan masyarakat dan karyawan PG Pangka selalu melakukan aktivitas penuh semangat dan persatuan dalam melakukan proses tradisi Manten Tebu maupun dalam kehidupan bersosial.
15.    Pipis
Makna kultural pipis adalah memperat tali persaudaraan dengan cara yang baik. Hal tersebut dapat dilihat dari struktur pipis yang lengket dan dicampur dengan pisang yang manis. Struktur pipis lengket mengharapkan pereratan antara masyrakat dengan masyarakat ataupun masyarakat dengan karyawan PG Pangka. Potongan pisang yang manis ini diharapkan selama pereratan persaudaraan tersebut harusmenggunakan cara-cara yang baik.
16.    Urab
Urab adalah sayuran yang segar diurap `dicampur` dengan bumbu mengandung makna kultural yaitu kesegaran sayuran melambangkan kesegaran jasmani dan rohani. Kesegaran jasmani diharapkan akan selalu diberikan kesehatan. Sedangkan kesegaran rohani diharapkan akan selau dapat berpikir jernih (berbuat baik) sehingga terhindar dari sifat jelek.
Selain mempunyai makna seperti di atas urab  juga mempunyai makna bahwa meskipun warga masyarakat mempunyai perpedaan agama, sosial, dan pendidikan, tetapi warga masyarakat memupunyai pendirian yang sama yaitu menggalang persatuan dan kesatuan di antara umat. Terlihat dengan sayur mayur yang diurap dengan bumbu. Sayur sebagai simbol perpedaan agama, sosial, dan pendidikan tetapi disatukan degan diurap `dicampur` sebagi simbol bersatunya perbedaan yang ada dengan satu tujuan tercipta suasana aman, tentram, dan penuh kekeluargaan.
17.    Tahu Tempe Goreng
Makna kultural tahu tempe goreng adalah kepercaayaan masyarakat Tegal bahwa lebih baik makan tahu tempe daripada makan ayam.
3.    Pola Pikir Masyarakat Terhadap Tradis Manten Tebu
Pabrik Gula Pangka bertempat di Kelurahan Pangka, Kecamatan Pangka, Kabupaten Tegal. Pabrik ini dekat sekali dengan rumah warga serta dekat dengan jalan raya. Tradisi Methikan sebenarnya lebih dikenal oleh masyarakat Pangka dan Tegal. Hal tersebut dikarenakan, pada proses methikan ini masyarakat benar-benar merasakan kekeluargaan yang erat pada saat bergotong-royong untuk memetik tebu atau memanen tebu.
Tujuan PG Pangka melakukan Tradisi Manten Tebu tidak hanya melestarikan kearifan lokal, namun sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan karena petani masih bisa methik tebu atau memanen tebu serta bentuk pengaharapan kepada Tuhan agar proses penggilingan tebu berjalan lancar.
Masyarakat yang sangat antusias dalam acara pra acara sampai puncak acara. Hal ini dilihat dari masyarakat bergotong royong untuk membersihkan kebun tebu yang akan digiling di PG Pangka, serta tradisi ini dapat sebagai sumber rezeki masyarakat. Puncak acara Tradisi Manten Tebu adalah pasar malem dan wayangan, masyarakat melihat peluang untuk berdagang di sekitar PG Pangka dan Argo Antik PG Pangka.
Kepercayaan masyarakat terhadap pelaranagan penggunaan pengantin dari manusia pada Tradisi Manten Tebu ini masih dilaksanakan sampai sekarang. Masyarakat percaya bahwa pernikahan adalah prosesi yang sakral dan hanya ingin dilakukan satu kali dalam seumur hidupnya. Masyarakat lebih memilih menggunakan golek manten daripada pengantin manusia, karena sangat merugikan. Hal ini dilihat pada tahun 80-an PG Pangka menggunakan pengantin manusia pada Tradisi Manten Tebu, PG Pangka mengalami kerugian yang sangat besar yaitu penjualan menurun serta naiknya harga gula di pasaran.
Masyarakat masih menganggap bahwa tradisi Manten Tebu ini memberikan keberkahan serta kebaikan untuk petani, masyarakat dan Karyawan Desa Pangka dan Tegal.

PENUTUP
Berdasarkan penelitian tentang Makna Leksikal dan Kultural Tradisi Manten Tebu Pabrik Gula Pangka Tegal (kajian Etnolinguistik) dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.             Dalam penelitian Makna Leksikal dan Kultural Tradisi Manten Tebu Pabrik Gula Pangka Tegal (Kajian Etnolinguistik) terdapat tiga bentuk yaitu monomorfemis, polimorfemis, dan frasa. Bentuk monomorfemis berupa berupa kata dasar yang berjumlah empat yaitu siwer, gesek, tumpeng, dan pipis; bentuk polimorfemis yang berjumlah tujuh yaitu methikan, slametan, arak-arakan, terbangan, lek-lekan, tumpengan, dan dikletheki; dan frasa berjumlah lima yaitu Manten Tebu, golek manten, sambel goreng, tahu tempe goreng, dan temu manten.
2.             Pola pikir masyarakat terhadap Tradisi Manten Tebu ini masih menjaga tradisi dengan baik. Hal tersebut dilihat dari masyarakat sangat antusias dalam Tradisi Manten Tebu, hal ini dikarenakan masyarakat dapat berdagang pada pasar malem atau wayangan. Kepecyaan masyarakat akan larangan penggunaan pengantin asli pun masih dijaga sampai sekarang, hal ini diyakini sebagai bentuk menghargai sesama orang lain bahwa pernikahan bukanlah proses bermain-main dan hanya cukup satu kali seumur hidup.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Chaer Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Djajasudarma, Fatimah T. 1993.Semantik 1 : Pengantar ke Arah  Ilmu Makna. Bandung : PT Eresco.
Fauza, Nanda. 2010. Istilah-istilah Sesaji Upacara Tradisonal Jamasan Pusaka di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri. Skripsi: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
J. W. M. Verhaar. 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta : UGM Press.
Kamsiadi, Frederick, dkk. 2013. Ritual Petik Oleh Masyarakat Jawa Di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang ( Kajian Etnolinguistik). Vol.1. Fakultas Sastra  Universitas Jember
Kentjono, Djoko. 1982. Dasar-dasar Linguistik Umum. Jakarta : Fakultas Sastra UI.
Koentjaraningrat. 1987. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Kurniati, Endang. 2012. Morfologi Dasar Bahasa Jawa. Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
Lyons Jon.1977.Isemantics :Volume 1. Cmbridge University.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Peneitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Nanda, Fauza. C0105034. 2010. Istila-istilah Sesaji Upacara Tradisional Jamasan
Pusaka di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri ( Satuan Kajian Etnolinguistik).  Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pranomo, Agung. 2009. Makna Simbol Cembungan di Maduksimo Kabupaten Bantul. Skripsi: Universitas Islam Negeri Kalijaga Yogyakarta.
Pratiknyo, Ananto. 2009. Istilah-istilah Upacara Perkawinan Adat Jawa Bubak Kawah dan Tumplak Punjen di Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo. Skripsi: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta
Poerwadarminta, W.J.S. 1932. Baoesastra Djawi. Groningen, Batavia: J.B Woltres Uitgevers Maatschappij.
Ramlan. M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia : Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptik. Yogyakarta. C.V Karyono.
Ramlan. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia SINTAKSIS. Yogyakarta : C.V Karyono.

Rias, Mirantika Desi. 2013. Kajian Makna Simbolik dan Nilai Estetik Batik Beras Mawur Tegal. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Yogyakarta.
Samsuri. 1987. Analisis bahasa memahami bahasa secara ilmiah. Erlangga: Jakarta.
Soeparno. 2002. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta : Duta Wacana.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa.  Yogyakarta : Duta Wacana  University Press.
Wakit, Abdullah. 1999. Bahasa Jawa Dialek Masyarakat Samin di Kabupaten Blora. Laporan Penelitian Dasar. Surakarta : FSSR UNS didanai oleh Dirjen Dikti.
Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: PT. Kanisius
Wisnu, Sasangka. 2011. Bunyi-bunyi Distingtif Bahasa Jawa. Yogyakarta : Elmatera Publishing
          Gambar Gesek diunduh dari laman: http://hertiarcfood.blogspot.co.id/2006/03/ikan-asin-goreng-tepung.html. Diunduh tanggal 30 Oktober 2015
Gambar tumpeng diunduh dari laman https://ceritaarsala.files.wordpress.com/2011/05/tumpeng-nasi-kuning.jpg. Diunduh tanggal 30 Oktober 2015
Gambar Sambel Goreng diunduh di laman http://resepmasakankue.com/wp-content/uploads/2013/02/Tempe-Resep-Bumbu-Bali.jpg. Diunduh pada tanggal 30 Oktober 2015
Gambar pipis diunduh di laman http://www.resepsedapku.com/cara-membuat-kue-pipis-mudah-praktis/. Diunduh pada tanggal 30 Oktober 2015










Category:

2 komentar:

Unknown mengatakan...

tulisan yang bagus

Lydia Suherawati mengatakan...

Good job

Posting Komentar